Sabtu, 24 November 2012


Tantangan Ekonomi Syariah dan Peran Ekonom Muslim


Kemunculan ilmu Islam ekonomi modern di panggung internasional, dimulai pada tahun 1970-an yang ditandai dengan kehadiran para pakar ekonomi Islam kontemporer, seperti Muhammad Abdul Mannan, M. Nejatullah Shiddiqy, Kursyid Ahmad, An-Naqvi, M. Umer Chapra, dll. Sejalan dengan itu berdiri Islamic Development Bank pada tahun 1975 dan selanjutnya diikuti pendirian  lembaga-lembaga  perbankan dan keuangan Islam lainnya di berbagai negara. Pada tahun 1976 para pakar ekonomi Islam dunia berkumpul untuk pertama kalinya dalam sejarah pada International Conference on Islamic Economics and Finance, di Jeddah.
Di Indonesia, momentum kemunculan ekonomi Islam dimulai tahun 1990an, yang ditandai berdirinya Bank Muamalat Indoenesia tahun 1992, kendatipun benih-benih pemikiran ekonomi dan keuangan Islam telah muncul jauh sebelum masa tersebut. Sepanjang tahun 1990an perkembangan ekonomi syariah di Indonesia relatif lambat. Tetapi pada tahun 2000an terjadi gelombang perkembangan yang sangat pesat ditinjan dari sisi pertumbuhan asset, omzet dan jaringa kantor lembaga perbankan dan keuangan syariah. Pada saat yang bersamaan juga mulai muncul lembaga pendidikan tinggi yang mengajarkan ekonomi Islam, walaupun pada jumlah yang sangat terbatas, antara lain STIE Syariah di Yogyakarta (1997), D3 Manajemen Bank Syariah di IAIN-SU di Medan (1997), STEI SEBI (1999) , STIE Tazkia (2000), dan PSTTI UI yang membuka konsentrasi Ekonomi dan Keuangan Islam, pada tahun 2001.

Lima tantangan dan problem besar
Namun demikian, sesuai dengan perkembangan ekonomi global dan semakin meningkatnya minat masyarakat terhadap ekonomi dan perbankan Islam, ekonomi Islam menghadapi berbagai permasalahan dan  tantangan-tantangan yang besar. Dalam usia yang masih muda tersebut, setidaknya ada lima  problem dan  tantangan yang dihadapi ekonomi Islam saat ini, pertama, masih minimnya pakar ekonomi Islam berkualitas yang menguasai ilmu-ilmu ekonomi modern dan ilmu-ilmu syariah secara integratif. . Kedua, ujian atas kredibiltas sistem ekonomi dan keuangannya, ketiga, perangkat peraturan, hukum dan kebijakan, baik dalam skala nasional maupun internasional masih belum memadai . Keempat, masih terbatasnya perguruan Tinggi yang mengajarkan ekonomi Islam dan masih minimnya lembaga tranining dan consulting dalam bidang ini, sehingga SDI di bidang ekonomi dan keuangan syariah masih terbatas dan belum memiliki pengetahuan  ekonomi syariah yang memadai. Kelima , peran pemerintah baik eksekutif maupun legislatif, masih rendah terhadap pengembangan ekonomi syariah, karena kurangnya pemahaman dan pengetahuan mereka tentang ilmu ekonomi Islam
Gerakan Menghadapi Tantangan
Sadar akan berbagai problem tersebut ditambah dengan kondisi ekonomi bangsa (umat)  yang masih terpuruk, maka tiga tahun lalu, para ekonom muslim yang terdiri dari akademisi dan praktisi ekonomi Islam se-Indonesia berkumpul di Jakarta, tepatnya di Istana Wakil Presiden Republik Indonesia pada tanggal 3 Maret 2004 dalam sebuah forum Konvensi Nasional   Ekonomi Islam. Keesokan harinya, bertempat di Universitas Indoensia, yakni pada tanggal 4 Maret 2004, dideklarasikan-lah  lahirnya sebuah wadah Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia (IAEI) oleh  para tokoh ekonomi Islam nasional, Gubernur Bank Indonesia, BurhanuddinAbdullah, ulama (MUI), K.H Maruf Amin, Direktur Utama Bank Muamalat, A.Riawan Amin, Ketua Umum BAZIS saat itu Ahmad Subianto,  dan pakar ekonomi Islam  dari Timur, Prof. Halidey, dan disaksikan ratusan  ahli/akademisi dan  praktisi ekonomi syariah se Indoensia.
Dari acara konvensi nasional  dan deklarasi IAEI tersebut perlu dicatat, bahwa para akademisi, praktisi, ulama dan regulator (BI), bergabung, bersinergi dan memiliki visi yang sama untuk mengembangkan ekonomi Islam di Indonesia, setelah sehari sebelumnya  mendapat dukungan dan respon positif dari Wakil Presiden Republik Indonesia, Hamzah Haz,  saat itu.   Ketika itu, ada keyakinan bersama, yaitu jika berbagai elemen penting dari umat tersebut bersinergi, maka dalam waktu yang tidak terlalu lama, ekonomi Islam akan mampu memberikan konstribusi yang besar dan nyata bagi pembangunan ekonomi bangsa yang sekian lama terpuruk dalam krisis moneter dan ekonomi.
Oleh karena itu IAEI  merumuskan visinya, yaitu menjadi wadah para pakar ekonomi Islam yang memiliki komitmen dalam mengembangkan dan menerapkan ekonomi syariah di Indonesia.
Sebagai sebuah wadah assosiasi para pakar dan profesional, IAEI lebih mengutamakan program   pengembangan Ilmu Pengetahuan di bidang ekonomi syariah melalui riset ilmiah untuk dikonturibusikankan bagi pembangunan ekonomi,  baik ekonomi dunia maupun ekonomi Indonesia. Karena itu IAEI terus bekerja membangun tradisi ilmiah di kalangan akademisi dan praktisi ekonomi syariah di Indonesia.
Misi IAEI selanjutnya ialah menyiapkan sumberdaya manusia Indonesia yang berkualitas di bidang ekonomi dan keuangan Islam melalui lembaga pendidikan dan kegiatan pelatihan. Juga, membangun sinergi antara lembaga keuangan syariah, lembaga pendidikan dan pemerintah dalam membumikan ekonomi syariah di Indonesia. Selain itu IAEI juga akan berusaha membangun jaringan dengan lembaga-lembaga internasional, baik lembaga keuangan, riset maupun organisasi investor internasional
Peranan IAEI
Dalam perjalanannya yang masih relatif baru, IAEI telah banyak berperan dalam mengembangkan ekonomi syariah di Indonesia. IAEI telah banyak menggelar berbagai kegiatan, walaupun dengan dukungan  dana yang terbatas, seperti Simposium Kurikulum Nasional, Rapat Kerja Nasional I IAEI di Arthaloka, PNM, Seminar Perbankan Syariah, dsb.
IAEI  juga telah melaksanakan Muktamar IAEI di Medan pada 18-19 September 2005 yang dirangkaikan  dengan Seminar dan Simposium Internasional Ekonomi Islam sebagai Solusi. Pada momentum itu juga dilakukan penyunan draft blueprint Ekonomi Islam Indonesia.
Pasca muktamar IAEI  juga telah banyak dilaksanakan berbagai program lkegiatan, antara lain, mendorong dan mengadvise diselengarakannya kajian, konsentrasi maupun Program Stdui Ekonomi islam, baik di D3, S1, S2 maupun S3 Ekonomi Islam. Berbagai kegiatan seminar dan workshop ekonomi syariah telah digelar, Silaturrahmi Nasionalk IAEI, diskusi ilmiah bulanan antar kampus yang secara rutin dilaksanakan.
IAEI juga berperan aktif dalam penyusunan draft Kompilasi Hukum Ekonomi Islam Indoneia yang diprakarsai baik oleh BPHN (Departemen Hukum dan Perundang-Undangan) maupun Mahkamah Agung Republik Indonesia. Selain itu, IAEI seringkali diundang sebagai pembicara (nara sumber) dalam forum-forum ilmiah tentang ekonomi Islam, baik taraf nasional maupun internasional. IAEI juga telah beberapa kali memberikan materi ekonomi dan bank syariah kepada para ulama, seperti terhadap Korps Muballigh Jakarta dan Majalis Ulama di daerah.  IAEI juga telah bekerjasama  dengan FoSSEI melaksakanan Olympiade Ekonomi Syariah memperebutkan piala bergilir IAEI sejak tahun 2007. Penerbitan buletin ekonomi syariah dan penulisan artikel ekonomi syariah di koran juga telah banyak dilakukan IAEI.
Selain itu, IAEI juga telah membentuk kepengurusan IAEI di berbagai wilayah propinsi,  daerah serta komisariat-komisariat di berbagai Perguruan Tinggi. Banyak di antaranya telah dilantik sebagai pengurus IAEI wilayah maupun komisariat. Kini terdapat lebih dari 30 Pengurus DPW (Dewan Pimpinan Wilayah) dan Komisariat IAEI yang tersebar di seluruh Indonesia.
Penutup
Demikianlah peran ekonom muslim yang tergabung dalam IAEI diusianya yang relatif muda tersebut. Mudah-mudahan peranan yang dimainkan IAEI di masa depan lebih besar dan signifikan lagi untuk menegakkan ekonomi yang berkeadilan yang membawa rahmat bagi semua elemen bangsa. Selanjutnya diharapkan semua lembaga ekonomi syariah, regulator, ulama, akademisi, para pengusaha (aghniya) hendaknya bersinergi menyatukan langkah membangun bangsa ini, karena IAEI sebagai sebuah wadah para ahli ekonomi Islam tidak akan mampu menghadapi tantangan dan problem besar yang sedang kita hadapi tanpa adanya sinergi dan kebersamaan di antara berbagai elemen tersebut. Dengan mengharap bantuan Allah dan komitmen kita bersama Insya Allah kemaslahatan bangsa (kesejahteraan material dan spiritual) dapat terwujud. Amin   (Penulis adalah Sekjen IAEI, Dosen Pascasarjajan PSTTI Ekonomi dan Keuangan Islam Universitas Indonesia dan Pascasarjana Islamic Economics and Finance Universitas Trisakti dan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta)

Kematian Ilmu Ekonomi dan Peluang Syariah


Sebagaimana dipaparkan pada tulisan yang lalu bahwa Paul Omerod menulis buku (1994) berjudul The Death of Economics (Matinya Ilmu Ekonomi). Omerrod menandaskan bahwa ahli ekonomi terjebak pada ideologi kapitalisme yang mekanistik yang ternyata tidak memiliki kekuatan dalam membantu dan mengatasi resesi ekonomi yang melanda dunia.  Mekanisme pasar yang merupakan bentuk dari sistem  yang diterapkan kapitalis cenderung pada pemusatan kekayaan pada kelompok orang tertentu.
Hampir sama dengan buku Omerod, muncul pula Umar Vadillo dari Scotlandia  yang menulis buku, ”The Ends of Economics” yang mengkritik secara tajam ketidakadilan sistem moneter kapitalisme.  Kapitalisme justru telah melakukan ”perampokan” terhadap kekayaan negara-negara berkembang melalui sistem moneter fiat money yang sesungguhnya adalah riba.
Dari berbagai analisa para ekonom dapat disimpulkan, bahwa teori ekonomi telah mati karena beberapa alasan. Pertama, teori ekonomi Barat (kapitalisme) telah menimbulkan ketidakadilan ekonomi yang sangat dalam, khususnya karena sistem moneter yang hanya menguntungkan Barat melalui hegemoni mata uang kertas dan sistem ribawi. Kedua,  Teori ekonomi  kapitalisme  tidak mampu mengentaskan masalah kemiskinan dan ketimpangan pendapatan. Ketiga, paradigmanya tidak mengacu kepada kepentingan masyarakat secara menyeluruh, sehingga ada dikotomi antara individu, masyarakat dan negara. Keempat, Teori ekonominya tidak mampu menyelaraskan hubungana antara negara-negara di dunia, terutama antara negara-negara maju dan negara berkembang. Kelima,terlalaikannya  pelestarian sumber daya alam.
Alasan-alasan  inilah yang oleh Mahbub al-Haq (1970) dianggap sebagai dosa-dosa para perencana pembangunan kapitalis. Kesimpulan ini begitu jelas apabila pembahasan teori ekonomi dihubungkan dengan pembangunan di negara-negara berkembang. Sementara itu perkembangan terakhir menunjukkan bahwa kesenjangan antara negara-negara berpendapatan tinggi dan negara-negara berpendapatan rendah, tetap menjadi indikasi bahwa globalisasi belum menunjukkan kinerja yang menguntungkan bagi negara miskin. (The World Bank, 2002).
Sejalan dengan Omerod dan Vadillo, belakangan ini muncul lagi ilmuwan ekonomi terkemuka bernama E.Stigliz, pemegang hadiah Nobel  ekonomi pada tahun 2001. Stigliz adalah Chairman Tim Penasehat Ekonomi President Bill Clinton, Chief Ekonomi Bank Dunia dan Guru Besar Universitas Columbia. Dalam bukunya  “Globalization and Descontents, ia mengupas dampak globalisasi dan peranan IMF (agen utama kapitalisme) dalam mengatasi krisis ekonomi global maupun  lokal. Ia menyatakan, globalisasi tidak banyak membantu negara miskin. Akibat globalisasi ternyata pendapatan masyarakat juga tidak meningkat di berbagai belahan dunia. Penerapan pasar terbuka, pasar bebas, privatisasi sebagaimana formula IMF selama ini menimbulkan ketidakstabilan ekonomi negara sedang berkembang, bukan sebaliknya seperti yang selama ini didengungkan barat bahwa globalisasi itu mendatangkan manfaat.. Stigliz mengungkapkan bahwa IMF gagal dalam misinya menciptakan stabilitas ekonomi yang stabil.

Karena kegagalan kapitalisme itulah, maka sejak awal, Joseph Schumpeter meragukan kapitalisme. Dalam konteks ini ia mempertanyakan,“Can Capitalism Survive”?. No, I do not think it can. (Dapatkah kapitalisme bertahan ?. Tidak, saya tidak berfikir  bahwa kapitalisme dapat bertahan). Selanjutnya ia mengatakan, ” Capitalism would fade away with  a resign shrug of the shoulders”,Kapitalisme akan pudar/mati dengan terhentinya tanggung jawabnya  untuk kesejahteraan (Heilbroner,1992).
Sejalan dengan pandangan para ekonom di atas, pakar ekonomi Fritjop Chapra dalam bukunya, The Turning Point, Science, Society and The Rising Culture (1999) dan Ervin Laszio dalam buku 3rd Millenium, The Challenge and The Vision (1999), mengungkapkan bahwa ekonomi konvensional (kapitalisme) yang berlandaskan sistem ribawi, memiliki kelemahan dan kekeliruan yang besar dalam sejumlah premisnya, terutama rasionalitas ekonomi yang telah mengabaikan moral. Kelemahan itulah menyebabkan ekonomi (konvensional) tidak berhasil menciptakan keadilan ekonomi dan kesejahteraan bagi umat manusia. Yang terjadi justru sebaliknya, ketimpangan yang semakin tajam antara negara-negara dan masyarakat yang miskin dengan negara-negara dan masyarakat yang kaya, demikian pula antara sesama anggota masyarakat di dalam suatu negeri. Lebih lanjut mereka menegaskan bahwa untuk memperbaiki keadaan ini, tidak ada jalan lain kecuali mengubah paradigma dan visi, yaitu melakukan satu titik balik peradaban, dalam arti membangun dan mengembangkan sistem ekonomi yang memiliki nilai dan norma yang bisa dipertanggungjawabkan.
Titik balik peradaban versi  Fritjop Chapra sangat sesuai dengan pemikiran Kuryid Ahmad ketika memberi pengantar buku Umar Chapra,”The Future of Economics : An Islamic Perpspective (2000), yang mengharuskan perubahan paradigma ekonomi. Hal yang sama juga ditulis oleh Amitai Etzioni dalam buku, ”The Moral Dimension : Toward a New Economics”(1988), yakni kebutuhan akan paradigm shift(pergeseran paradigma) dalam ekonomi.
Sejalan dengan pandangan para ilmuwan di atas, Critovan Buarque, ekonom dari universitas Brazil dalam buknya, “The End of Economics” Ethics and  the Disorder of Progress (1993), melontarkan sebuah gugatan terhadap paradigma ekonomi kapitalis yang mengabaikan nilai-nilai etika dan sosial.
Paradigma ekonomi kapitalis tersebut telah menimbulkan efek negatif bagi pembangunan ekonomi dunia, yang disebut Fukuyama sebagai”Kekacauan Dahsyat” dalam bukunya yang paling monumental, “The End of Order”.(1997), yakni berkaitan dengan runtuhnya  solidaritas sosial dan keluarga.
Meskipun di Barat, ada upaya untuk mewujudkan keadilan sosial, namun upaya itu gagal, karena paradigmanya tetap didasarkan pada filsafat materialisme dan sistem ekonomi ribawi. Kemandulan yang dihasilkan elaborasi teori dan praktek Filsuf Sosial Amerika, John Rawis dalam buku “The Theory of Justice” (1971) yang ditanggapi oleh Robert Nozik dalam bukunya “Anarchy, State  and Utopia” (1974), telah menjadi contoh yang mempresentasikan kegagalan teori keadilan versi Barat.
Ketika sistem ekonomi kapitalisme mengalami kerapuhan dan ”kematian”, maka sekali lagi ditegaskan, bahwa peluang ekonomi syariah makin terbuka luas untuk berkembang. Ekonomi Syari’ah merupakan sistem ekonomi post-capitalist yang berperan sebagi solusi ekonomi dunia. Semoga para ilmuwan ekonomi Islam saat ini dapat mengisi peluang besar yang sangat strategis itu dengan ijtihad ekonomi yang lebih kreatif dan inovatif berdasarkan nilai-nilai syari’ah.


Multi Level Marketing Menurut Hukum Islam


Belakangan ini semakin banyak muncul perusahaan-perusahaan yang menjual produknya melalui sistem Multi Level Marketing (MLM). Karena itu, perlu dibahas hukumnya menurut syari’ah Islam. Kajian ini dianggap semakin penting setelah lahirnya perusahaan MLM yang menamakan perusahaannya dengan label syariah. Oleh karena banyaknya perusahaan MLM yang berkembang, maka Dewan Syariah Nasional MUI telah mengeluarkan fatwa terkait MLM tersebut, Nama fatwa DSN tersebut adalah Penjualan Langsung Berjenjang Syariah (PLBS) atau at-Taswiq asy-Syabakiy,

Sistem Pemasaran MLM
Pakar marketing ternama  Don Failla, membagi  marketing menjadi tiga macam. Pertama, retail (eceran), Kedua, direct selling (penjualan langsung ke konsumen), Ketiga multi level marketing (pemasaran berjenjang melalui jaringan distribusi yang dibangun dengan memposisikan pelanggan sekaligus sebagai tenaga pemasaran). Bahkan Robert Kiyosaki, menempatkan orang yang bergerak di bidang MLM ini berada pada quadran III, termasuk sebagai profesional yang strategis.
Kemunculan trend strategi pemasaran produk melalui sistem MLM di dunia bisnis modern sangat menguntungkan banyak pihak, seperti pengusaha (baik produsen maupun perusahaan MLM).Hal ini disebabkan karena adanya penghematan biaya dalam iklan,  Bisnis ini juga menguntungkan para distributor yang berperan sebagai simsar (Mitra Niaga) yang ingin bebas (tidak terikat) dalam bekerja.
Sistem marketing MLM yang lahir pada tahun 1939  merupakan kreasi dan inovasi marketing yang melibatkan masyarakat konsumen dalam kegiatan usaha pemasaran dengan tujuan agar masyarakat konsumen dapat menikmati tidak saja manfaat produk, tetapi juga manfaat finansial dalam bentuk insentif, hadiah-hadiah, haji dan umrah, perlindungan asuransi, tabungan hari tua dan bahkan kepemilikan saham perusahaan.(Ahmad Basyuni Lubis, Al-Iqtishad, November 2000).

Perspektif Islam

Bisnis dalam syari’ah Islam pada dasarnya termasuk kategori muamalat yang hukum asalnya adalah boleh berdasarkan kaedah Fiqh,”Al-Ashlu fil muamalah al-ibahah hatta yadullad dalilu ‘ala tahrimiha (Pada dasarnya  segala hukum dalam muamalah adalah boleh, kecuali ada dalil/prinsip yang melarangnya)
Islam memahami bahwa perkembangan sistem dan budaya bisnis berjalan begitu cepat dan dinamis. Berdasarkan kaedah fikih di atas, maka terlihat bahwa  Islam memberikan jalan bagi manusia untuk melakukan berbagai improvisasi dan inovasi melalui sistem, teknik dan mediasi dalam melakukan perdagangan.
Namun, Islam mempunyai prinsip-prinsip  tentang pengembangan sistem bisnis yaitu harus terbebas dari unsur  dharar (bahaya), jahalah(ketidakjelasan) dan zhulm ( merugikan atau tidak adil terhadap salah satu pihak). Oleh karena itu, sistem pemberian bonus  harus adil, tidak menzalimi dan tidak hanya menguntungkan orang yang di atas. Bisnis juga harus terbebas dari unsur MAGHRIB, singkatan dari lima unsur. 1, Maysir (judi), 2, Gharar (penipuan), 3 Haram,4, Riba (bunga) dan 5  Bathil.
Kalau kita ingin mengembangkan bisnis MLM, maka ia harus  terbebas dari unsur-unsur di atas. Oleh karena itu, barang atau jasa yang dibisniskan serta tata cara penjualannya harus halal, tidak syubhat dan tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syari’ah.di atas..
MLM yang menggunakan strategi pemasaran secara bertingkat (levelisasi) mengandung unsur-unsur positif, asalkan diisi dengan nilai-nilai Islam dan sistemnya disesuaikan dengan syari’ah Islam. Bila demikian, MLM dipandang memiliki unsur-unsur silaturrahmi, dakwah dantarbiyah. MenurutMuhammad Hidayat, Dewan syari’ah MUI Pusat, metode semacam ini pernah digunakan Rasulullah dalam melakukan dakwah Islamiyah pada awal-awal Islam. Dakwah Islam pada  saat itu dilakukan melalui teori gethok tular (mulut ke mulut) dari sahabat satu ke sahabat lainnya. Sehingga pada suatu ketika Islam dapat di terima oleh masyarakat kebanyakan.(Lihat, Azhari Akmal Tarigan,Ekonomi dan Bank Syari’ah, FKEBI IAIN, 2002, hlm. 30)
Bisnis yang dijalankan dengan sistem MLM tidak hanya sekedar menjalankan penjualan produk barang, tetapi juga jasa, yaitu jasa marketing yang berlevel-level (bertingkat-tingkat) dengan imbalan berupa marketing fee, bonus, hadiah dan sebagainya, tergantung prestasi, dan level seorang anggota. Jasa marketing yang bertindak sebagai perantara antara produsen dan konsumen. Dalam istilah fikih Islam hal ini disebut Samsarah / Simsar. (Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, jilid II, hlm 159)
Kegiatan samsarah dalam bentuk distributor, agen, member atau mitra niaga dalam fikih Islam termasuk dalam akad ijarah. yaitu suatu transaksi memanfaatkan jasa orang lain dengan imbalan, insentif atau bonus  (ujrah) Semua ulama membolehkan akad seperti ini (Fikih Sunnah, III, hlm 159).
Sama halnya seperti cara berdagang yang lain, strategi MLM harus memenuhi rukun jual beli serta akhlak (etika) yang baik. Di samping itu komoditas yang dijual harus halal (bukan haram maupun syubhat), memenuhi kualitas dan bermafaat. MLM tidak boleh memperjualbelikan produk yang tidak jelas status halalnya. Atau menggunakan modus penawaran (iklan) produksi promosi tanpa mengindahkan norma-norma agama dan kesusilaan.
Multi Level Marketing (MLM) konvensional tentulah belum bisa disebut syariah, kecuali lolos sekian syarat kesyariahan. Berikut ini syarat-syarat agar sebuah perusahaan MLM menjadi syariah.

10    Syarat agar  syari’ah

  1. Produk yang dipasarkan harus berkualitas, halal, thayyib dan menjauhi syubhat (Syubhat adalah sesuatu yang masih meragukan).
  2. Sistem akadnya harus memenuhi kaedah dan rukun jual beli sebagaimana yang terdapat dalam hukum Islam (fikih muamalah)
  3. Operasional, kebijakan, corporate culture, maupun sistem akuntansinya harus sesuai syari’ah
  4. Strukturnya memiliki Dewan Pengawas Syari’ah (DPS) yang terdiri dari para ulama  yang memahami masalah ekonomi.
  5. Formula intensif harus adil, tidak menzalimi dan berorientasi kemaslahatan/falah.
  6. Tidak ada excessive mark up harga barang (harga barang di mark up sampai dua kali lipat), sehingga konsumen dan anggota terkana praktek terlarang dalam bentuk ghabn fahisy dengan harga yang amat mahal, tidak sepadan dengan kualitas dan manfaat yang diperoleh.
  7. Bonus yang diberikan harus jelas angka nisbahnya sejak awal.
  8. Tidak ada eksploitasi dalam aturan pembagian bonus antara  orang yang awal menjadi anggota dengan yang akhir.
  9. Pembagian bonus harus mencerminkan usaha masing-masing anggota.
10.  Tidak menitik beratkan  barang-barang tertier ketika ummat masih bergelut dengan pemenuhan kebutuhan primer.
11.  MLM tidak boleh menggunakan sistem piramida yang merugikan orang yang paling belakangan masuk sebagai member. .Dalam MLM yang produknya jasa (umrah- dan haji), sistem ini persis berbentuk money game. Pada hakikatnya, orang yang paling bawah memberi ongkos kepada up linenya untuk berangkat haji duluan, sementara down line yang paling bawah harus berjuang mencari down linenya, dan begitulah seterusnya. Dalam sistem ini, pasti ada orang yang belakangan masuk, dan jumlahnya cukup besar. Merekalah yang membiayai up linenya pergi haji dan umrah. Jadi harus dibedakan MLM yang menjual produk barang, dengan MLM yang menjual jasa. MLM yang menjual produk barang saja, bisa terjebak menjadi money game, jika biaya masuk demikian tinggi, sedangkan barang yang diperjualbelikan hanya kedok belaka. ApalagiMLMyang produknya jasa. Masih ingat MLM yang menjual produk penghemat listrik yang dijual Rp 150.000,-, Padahal harga sebenarnya hanya Rp 15.000,-.
12.  Cara penghargaan kepada mereka yang berprestasi tidak boleh mencerminkan hura-hura dan  pesta yang tidak syari’ah.
Kalau ada para profesor yang sempat mendukung MLM yang berkedok money game, pastilah mereka bukan pakar ekonomi keuangan, dan mungkin bukan professor di bidang hukum ekonomi Islam, melainkan mereka adalah Professor di bidang pendidikan atau filsafat, sehingga tidak memahami masalah ekonomi keuangan dengan baik.
Insentif dan penghargaan
Perusahaan MLM biasa memberi reward atau insentif pada mereka yang berprestasi. Islam  membenarkan seseorang mendapatkan insentif lebih besar dari yang lainnya disebabkan keberhasilannya dalam memenuhi target penjualan tertentu, dan melakukan berbagai upaya positif dalam memperluas jaringan dan levelnya secara produktif. Kaidah Ushul Fiqh mengatakan:” Besarnya ijrah (upah) itu tergantung pada kadar kesulitan dan pada kadar kesungguhan.”
Penghargaan kepada Up Line yang mengembangkan jaringan (level) di bawahnya (Down Line) dengan cara bersungguh-sungguh, memberikan pembinaan (tarbiyah, pengawasan serta keteladanan prestasi (uswah) memang patut di lakukan. Dan atas jerih payahnya itu ia berhak mendapat bonus dari perusahaan, karena ini selaras dengan sabda Rasulullah:” “Barangsiapa di dalam Islam berbuat suatu kebajikan maka kepadanya diberi pahala, serta pahala dari orang yang mengikutinya tanpa dikurangi sedikitpun”(hadist).
Intensif diberikan dengan merujuk skim ijarah. Intensif ditentukan oleh dua kriteria, yaitu dari segi prestasi penjualan produk dan dari sisi berapa berapa banyak down line yang dibina sehingga ikut menyukseskan kinerja.  ‎
Dalam hal menetapkan nilai insentif ini, ada tiga  syarat syari’ah yang harus dipenuhi, yakni:adil, terbuka, dan berorientasi falah (keuntungan dunia dan akhirat). Insentif (bonus) seseorang (Up line ) tidak boleh mengurangi hak orang lain di bawahnya (down line), sehingga tidak ada yang dizalimi. Sistem intensif juga harus transparan diinformasikan kepada seluruh anggota, bahkan dalam menentukan sistemnya dan pembagian insentif (bonus), para anggota perlu diikutsertakan, sebagaimana yang terjadi di MLM Syari’ah Ahad-Net Internasional. Dalam hal ini tetap dilakukan musyawarah, sehingga penetapan sistem bonus tidak sepihak. Selanjutnya, keuntungan dalam bisnis MLM, berorientasi pada keuntungan duniawi dan ukhrawi. Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin mengatakan bahwa keuntungan dalam Islam adalah keuntungan dunia dan akhirat. Keuntungan akhirat maksudnya, bahwa dengan menjalankan bisnis itu, seseorang telah dianggap menjalankan ibadah, (asalkan bisnisnya sesuai dengan syari’ah). Dengan bisnis, seseorang  juga telah membantu orang lain dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.
Penting disadari, pemberian penghargaan dan cara menyampaikannya hendaknya tetap dalam koridor tasyakur, untuk menghindarkan penerimanya dari takabur (bangga/sombong) dan  kufur nikmat, apalagi melupakan Tuhan.  MLM yang Islami  senantiasa berpedoman pada akhlak Islam..
Sebagaimana disebut di atas bahwa penghargaan yang diberikan kepada anggota  yang sukses  mengembangkan jaringan, dan secara sungguh-sunguh memberikan pembinaan (tarbiyah), pengawasan serta keteladanan prestasi (uswah), harus selaras dengan ajaran agama Islam. Karena itu,   applause ataupun gathering party yang diberikan atas prestasi seseorang, haruslah sesuai dengan nilai-nilai aqidah dan akhlak. Banyak MLM yang cara dan budaya pemberian penghargaannya, bertentangan dengan syariah, hura-hura, berpelukan antara pria wanita, aurat yang dipertontonkan, dsb.
Ekspressi penghargaan atas kesuksesan anggota MLM, tidak boleh melampaui batas (bertantangan dengan ajaran Islam). Applause yang diberikan juga tidak boleh mengesankan kultus individu, mendewakan seseorang. Karena hal itu dapat menimbulkan penerimanya menjai takabbur, dan ‘ujub. Perayaan  kesuksesan seharusnya  dilakukan dalam bingkai tasyakkur. (Lihat, Drs.H.Muhammad Hidayat, MBA, Analisis Teoritis Normatif MLM dalam Perspektif Muamalah, 2002)
Karena itu pula,  Islam sangat mengecam seseorang yang dalam menjalankan aktivitas bisnis dan perdagangannya semakin jauh dari nilai-nilai ketuhanan. Firman Allah, “ Mereka tidak lalai  dari mengingat Allah dalam melakukan  bisnis dan jual beli. Mereka mendirikan shalat dan membayar zakat”… (QS.24:37)
Dari ayat tersebut dapat ditarik pemahaman bahwa  seluruh aktivitas bisnis  tidak boleh melupakan  Tuhan dan jauh dari nilai-nilai keilahian, baik dalam kegiatan produksi, distribusi, strategi pemasaran, maupun pada saat menikmati kesuksesan (menerima penghargaan dan applause).
Jadi, dalam menjalankan bisnis MLM perlu diwaspadai dampak negatif psikologis yang mungkin timbul, sehingga membahayakan kepribadian, seperti yang dilansir Dewan Syari’ah Partai Keadilan, yaitu adanya eksploitasi obsesi yang berlebihan untuk mencapai terget jaringan dan penjualan. Karena terpacu oleh sistem ini, suasana yang tak kondusif kadang mengarah pada pola hidup hura-hura ala jahiliyah, seperti ketika mengadakan acara pertemuan para members .

Kewajaran harga produk

Setiap perdagangan pasti berorientasi pada  keuntungan. Namun Islam sangat menekankan kewajaran dalam memperoleh keuntungan tersebut. Ibnu Taymiyah secara khusus membahas harga yang wajar dan harga yang adil.  Harga produk yang  wajar artinya  tidak dimark up sedemikian rupa dalam harga yang amat mahal, sebagaimana yang banyak terjadi di perusahaan bisnis MLM saat ini. MLM membuat harga yang tidak wajar itu, karena ingin diberikan kepada members, akibatnya margin keuntungan  terlalu tinggi, dimana jauh di atas harga pasar. Praktek ini  termasuk dalam kategori ghabn fahisy.(penipuan yang keji) Qanun Khilafah Islamiyah Turkiy Usmani, bernama Al-Majallah al-Ahkam al-’adliyah, mengatur tentang ghabn fahisy dalam harga-harga produk dan menghukum pelaku/pedagang yg melakukannya.
Sekalipun Al-quran dan hadits tidak menentukan secara fixed besaran nominal keuntungan yang wajar dalam perdagangan, namun dengan tegas Al-quran berpesan, agar pengambilan keuntungan dilakukan secara fair, saling ridha dan menguntungkan. Firman Allah :
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang   saling ridha di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah maha Penyayang kepadamu. )QS.4:29).
Dalam konteks ini, tidak sedikit masyarakat yang berpendapat bahwa produk yang ditawarkan perusahaan MLM sangat mahal dan terlalu eksklusif, sehingga kerap kali memberatkan anggota yang berada di level bawah (down line) serta masyarakat pemakai dan sangat menguntungkan level di atasnya (up line). Seringkali harga produk dimark up sampai dua bahkan tiga kali lipat dari harga yang sepatutnya. Hal ini seharusnya dihindari, karena cara ini adalah mengambil keuntungan dengan cara yang bathil, karena mengandung unsur kezaliman, yakni memberatkan masyarakat konsumen.
Fatwa DSN MUI tentang MLM
DSN MUI sudah mengeluarkan fatwa tentang MLM dengan nama Penjualan Langsung Berjenjang Syariah No 75 Tahun 2009.. DSN MUI menetapkan sebagai berikut :
1, Penjualan  Langsung Berjenjang  adalah  cara penjualan barang atau jasa melalui jaringan pemasaran yang dilakukan oleh perorangan atau badan usaha kepada sejumlah perorangan atau badan usaha lainnya secara berturut-turut
2.     Barang adalah setiap benda berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, dapat dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan, yang dapat dimiliki, diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen.
3.     Produk jasa adalah setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau pelayanan untuk dimanfaatkan oleh konsumen.
4.     Perusahaan adalah badan usaha yang berbentuk badan hukum yang melakukan kegiatan usaha perdagangan barang dan atau produk jasa dengan sistem penjualan langsung yang terdaftar menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
5.     Konsumen adalah pihak pemakai barang dan atau jasa, dan tidak untuk diperdagangkan.
6.     Komisi adalah imbalan yang diberikan oleh perusahaan kepada mitra usaha atas penjualan yang besaran maupun bentuknya diperhitungkan berdasarkan prestasi kerja nyata, yang terkait langsung dengan volume atau nilai hasil penjualan barang dan atau produk jasa.
7.     Bonus adalah tambahan imbalan yang diberikan oleh perusahaan kepada mitra usaha atas penjualan, karena berhasil melampaui target penjualan barang dan atau produk jasa yang ditetapkan perusahaan.
8. Ighra’ adalah daya tari luar biasa yang menyebabkan orang lalai terhadap kewajibannya demi melakukan hal-hal atau transaksi dalam rangka mempereroleh bonus atau komisi yang dijanjikan.
9.        Money Game adalah kegiatan penghimpunan dana masyarakat atau penggandaan uang dengan praktik memberikan komisi dan bonus dari hasil perek-rutan/pendaftaran Mitra Usaha yang baru/bergabung kemudian dan bukan dari hasil penjualan produk, atau dari hasil penjualan produk namun produk yang dijual tersebut hanya sebagai kamuflase atau tidak mempunyai mutu/kualitas yang dapat dipertanggung jawabkan.
10.      Excessive mark-up adalah batas marjin laba yang ber-lebihan yang dikaitkan dengan hal-hal lain di luar biaya.
11. Member get member adalah strategi perekrutan keang-gotaan baru PLB yang dilakukan oleh anggota yang telah terdaftar sebelumnya.
12. Mitra usaha/stockist adalah pengecer/retailer yang men-jual/memasarkan produk-produk penjualan langsung.
Ketentuan Hukum Islam :
Praktik PLBS wajib memenuhi ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
1.    Adanya obyek transaksi riil yang diperjualbelikan berupa barang atau produk jasa;
2.    Barang atau produk jasa yang diperdagangkan bukan sesuatu yang diharamkan dan atau yang dipergunakan untuk sesuatu yang haram;
3.    Transaksi dalam perdagangan tersebut tidak mengandung unsur ghararmaysir, riba, dharardzulm, maksiat;
4.    Tidak ada kenaikan harga/biaya yang berlebihan (excessive mark-up), sehingga merugikan konsumen karena tidak sepadan dengan kualitas/manfaat yang diperoleh;
5.    Komisi yang diberikan oleh perusahaan kepada anggota baik besaran maupun bentuknya harus berdasarkan pada prestasi kerja nyata yang terkait langsung dengan volume atau nilai hasil penjualan barang atau produk jasa, dan harus menjadi pendapatan utama mitra usaha dalam PLBS;
6.    Bonus yang diberikan oleh perusahaan kepada anggota (mitra usaha) harus jelas jumlahnya ketika dilakukan transaksi (akad) sesuai dengan target penjualan barang dan atau produk jasa yang ditetapkan oleh perusahaan;
7.    Tidak boleh ada komisi atau bonus secara pasif yang diperoleh secara reguler tanpa melakukan pembinaan dan atau penjualan barang dan atau jasa;
8.    Pemberian komisi atau bonus oleh perusahaan kepada anggota (mitra usaha) tidak menimbulkan ighra’.
9.    Tidak ada eksploitasi dan ketidakadilan dalam pembagian bonus antara anggota pertama dengan anggota berikutnya;
10.  Sistem perekrutan keanggotaan, bentuk penghargaan dan acara seremonial yang dilakukan tidak mengandung unsur yang bertentangan dengan aqidah, syariah dan akhlak mulia, seperti syirik, kultus, maksiat dan lain-lain;
11.  Setiap mitra usaha yang melakukan perekrutan keanggotaan berkewajiban melakukan pembinaan dan pengawasan kepada anggota yang direkrutnya tersebut;
12.Tidak melakukan kegiatan money game.
Demikianlah isi fatwa DSN-MUI mengenai MLM Syariah yang dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional pada tahun 2009.
Missi MLM Syari’ah
Selanjutnya saya merumuskan bahwa usaha bisnis MLM, (khususnya yang dikelola oleh kaum muslimin), seharusnya memiliki misi mulia dibalik kegiatan bisnisnya. Di antara misi mulia itu adalah :
  1. Mengangkat derjat ekonomi ummat melalui usaha yang sesuai dengan tuntunan syari’at Islam.
  2. Meningkatkan jalinan ukhuwah ummat Islam di seluruh dunia
  3. Membentuk jaringan ekonomi ummat yang berskala internasional, baik jaringan produksi, distribusi maupun konsumennya sehingga dapat mendorong kemandirian dan kejayaan ekonomi ummat.
  4. Memperkokoh ketahanan akidah dari serbuan idiologi, budaya dan produk yang tidak sesuai dengan nilai-nilai Islami.
  5. Mengantisipasi dan mempersiapkan strategi dan daya saing menghadapi era globalisasi dan teknologi informasi.
  6. Meningkatkan ketenangan konsumen dengan tersedianya produk-produk halal dan   thayyib.
Penulis adalah Anggota DSN-MUI dan Sekjen Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia serta Dosen Pascasarjana Ekonomi Syariah di PSTTI-UI, Post Graduate islamic Economics and Finance Univ Trisakti dan Graduate School Paramadina.


INVESTASI SYARIAH MENGUNTUNGKAN DUNIA DAN AKHIRAT


Dalam ekonomi syariah,  investasi merupakan kegiatan muamalah yang sangat dianjurkan, karena dengan berinvestasi harta yang dimiliki menjadi produktif dan mendatangkan manfaat bagi pertumbuhan ekonomi dan masyarakat seacara luas. Investasi merupakan salah satu alat bagi manusia untuk menjaga eksistensi kelangsungan hidupnya di saat ia lemah dan tak berdaya. Dengan berinvestasi, manusia akan merasa sedikit aman ketika sakit, lemah, tua, atau kehilangan pekerjaan karena ia masih mempunyai sesuatu yang dapat digunakan untuk berobat, makan, biaya  sekolah dan kuliah anak-anak, dll.
Dorongan Islam untuk kegiatan investasi dapat dipahami dari larangan Alquran terhadap aktivitas  penimbunan (iktinaz) uang dan  harta yang dimiliki (9:33). Menurut ayat tersebut, uang yang dimiliki harus diputar dalam perekonomian agar menghasilkan return bagi pemiliknya dan bermanfaat bagi orang lain.  Seluruh uang yag dimiliki, seharusnya diinvestasikan  dalam sector produktif yang menguntungkan, sekalipun uang itu adalah harta anak yatim. Dalam sebuah hadits, Nabi Muhammad Saw bersabda, ”Ketahuilah, Siapa yang memelihara anak yatim, sedangkan anak yatim itu memiliki harta (uang warisan), maka hendaklah ia menginvestasikannya (membisniskannya), janganlah ia membiarkan harta itu idle, sehingga harta itu terus berkurang lantaran zakat”
Islam mendorong aktivitas investasi sebagai sarana untuk mengembangkan modal atau harta. Investasi merupakan tema yang berhubungan kuat dengan  syariat,  hukum Islam bahkan filsafat. Maksud dari investasi adalah menanam modal dengan tujuan menambah keuntungan dan mencari kelebihan nikmat Allah, karena investasi ini akan merealisasikan tujuan permodalan yang seharusnya berkembang, serta tujuan sosial.
Selain landasan di atas, terdapat pula hadis Nabi yang berisi, bahwa Rasulullah sendiri tidak setuju membiarkan sumber daya modal tidak produktif dengan mengatakan : ”Berikanlah kesempatan kepada mereka yang memiliki tanah untuk memenfaatkannya, dengan caranya sendiri dan jika tidak dilakukannya, hendaklah diberikan pula orang lain agar memanfaatkannya” (HR Muslim).
Selain itu khalifah Umar R.A menekankan agar umat Islam menggunakan modal mereka secara produktif dengan mengatakan : ”Mereka yang mempunyai uang perlu mengivestasikannya, dan mereka yang mempunyai tanah perlu mengeluarkannya”.
Pengertian Investasi
Kata investasi merupakan kata adopsi dari bahasa inggris yaitu investment. Kata invest sebagai kata dasar memiliki arti menanam. Dalam webster new collegiate dictionary, kata invest didefinisikan sebagai ”to make use of for future benefit or advantage and to commit (money) in order to earn financial returnDalam kamus lengkap ekonomi, investasi di definisikan sebagai penukaran uang dengan bentuk-bentuk kekayaan yang lain seperti saham atau harta tidak bergerak yang diharapkan dapat ditahan selama periode waktu tertentu supaya menghasilkan pendapatan
Investasi dapat didefinisikan dari beberapa pendekatan. Christy dan John C.  Clendenin (1974:hal. 3)  mendefinisikan investasi:
“An Investment is any or property right acquired or held for the purpose of conserving capital or earning an income.
Jack Clark Francis, dikutip oleh Kamaruddin Ahmad (1996, hal. 1) mendefinisikan investasi sebagai:
“An investment is a commitment of money that is expected to generate of additional money
Menurut Benjamin Graham dalam artikel yang ditulisnya mengenai perilaku investasi dan perilaku spekulasi dalam buku The Intelligent Investor, menyebutkan definisi investasi adalah ”Tindakan melalui analisis yang menyeluruh, menjanjikan keamanan dana pokok dan memberikan return (keuntungan/ pengembalian) memadai.” Analisis menyeluruh berarti studi tentang fakta-fakta dengan memperhatikan standar keamanan dan nilai, sedangkan keamanan dana pokok menegaskan pada perlindungan terhadap kerugian dalam semua kondisi normal, kemungkinan yang akan terjadi atau variasi. Return yang memadai mengacu pada setiap tingkat atau jumlah return berapapun kecilnya yang tersedia diterima oleh investor dengan catatan bahwa ia bertindak menggunakan kecerdasan yang memadai
Prinsip-prinsip Investasi Syariah
Beberapa prinsip yang harus perhatikan dalam investasi menurut Islam :
1. Halal
Suatu bentuk investasi harus terhindar dari bidang bisnis yang syubhat atau haram. Kehalalan juga menyangkut pada penggunaan barang atau jasa yang ditransaksikan. Contoh industri yang dikategorikan haram adalah: industri alkohol, industri pornografi, jasa keuangan ribawi, judi, dll.
Prosedur juga harus terhindar dari  hal-hal yang syubhat atau haram tersebut. Selain itu,  kehalalan juga meliputi niat seseorang saat bertransaksi dan selama prosedur pelaksanaan transaksi.
Kehalalan juga ternyata terkait dengan niat atau motivasi. Motivasi yang halal ialah transaksi yang berorientasi  kepada hasil yang dapat memberikan manfaat kepada pihak-pihak yang terlibat di dalamnya.
2. Maslahah
Maslahah  (manfaat) merupakan hal yang paling esensial dalam semua tindakan muamalah. Para pihak yang terlibat dalam investasi, masing-masing harus dapat memperoleh manfaat sesuai dengan porsinya. Misalnya, manfaat yang timbul harus dirasakan oleh pihak yang bertransaksi dn harus dapat dirasakan oleh masyarakat pada umumnya.
Manfaat-manfaat investasi itu antara lain :
a. Manfaat bagi yang menginvestasikan Mendapatkan bagi hasil sesuai dengan besar investasi yang ditanamkan dan sesuai dengan akad awal menurut prinsip syariah.
b. Manfaat bagi yang mendapat tambahan investasi
Mendapatkan tambahan modal sehingga memiliki kemampuan untuk meneruskan usahanya.
Untuk melindungi perusahaan dalam lilitan hutang karena tidak mampu mengembalikan modal yang diterima dan tidak mampu memberikan manfaat bagi investor, maka diatur secara syariah oleh DSN (Dewan Syariah Nasional) bahwa perusahaan yang memenuhi syarat untuk dijadikan lahan investasi adalah perusahaan yang:
- mendapatkan dana pembiayaan atau sumber dana dari hutang tidak lebih dari 30% dari rasio modalnya
- pendapatan bunga yang diperoleh perusahaan tidak lebih dari 15%
- memiliki aktiva kas atau piutang yang totalnya tidak lebih dari 50%
Sesuai dengan peringatan Allah dalam firmannya QS. Al-Baqarah:280 bahwa: ”Orang yang berhutang tidak pernah tenang dalam tidurnya”, maka dengan fatwa yang ditetapkan oleh DSN tersebut diharapkan perusahaan debitur dapat mengembalikan investasi sesuai dengan perjanjian yang dilakukan.  QS Al-Maidah:1 bahwa: ”Hai orang-orang yang beriman! Penuhilah akad-akad itu .....”
c. Manfaat bagi masyarakat secara luas
Besarnya investasi yang ditanamkan dalam berbagai bidang haruslah memberi manfaat bagi masyarakat.  Investasi bisa digunakan untuk penelitian dan pengembangan supaya bisa meningkatkan produk-produk baru atau meningkatkan kualitas produksi, selain itu investasi juga dapat bermanfaat dalam mengurangi harga barang sehingga pada akhirnya menguntungkan pelanggan.
Dengan investasi juga menggairahkan sektor industri sehingga mampu mengurangi jumlah pengangguran.
Maka sesuai dengan tafsir Al-Misbah, bahwa pada akhirnya harta yang dimiliki individu memiliki fungsi sosial.
Selain memperhatikan faktor kehalalan dan kemaslahatan, investasi harus terhindar dari  praktek sistem  riba, gharar, maysir (spekulasi)
  1. Transaksi dalam investasi yang dilakukan harus terbebas dari riba (bunga). Karena itu inevstasi kepada perusahaan yang menjalankan sistem riba seperti perbankan, asuransi, pegadaian, dsb, adalah dilarang. Membeli saham bank konvensional juga adalah terlarang karena mengandung riba yang diharamkan.
  2. Setiap transaksi harus bebas dari gharar, yaitu penipuan dan ketidak-jelasan. Dengah demikian  transaksi bisnis harus  transparan, tidak menimbulkan kerugian atau unsur penipuan disalah satu pihak baik secara sengaja maupun tidak sengaja.. Gharar dapat pula diartikan sebegai bentuk jual beli saham dimana penjual belum membeli (memiliki) sahamnya tetapi telah dijual kepada pihak lain.  Karena itu Islam melarang praktek margin trading, short selling, insider trading, Demikian pula najasy (rumor) untuk mengelabui investor.
  3. Setiap transaksi harus terbebas dari kegiatan maysir (spekulasi). Maysir dalam konteks ini bukanlah hanya perjudian biasa, tetapi  adalah segala bentuk spekulasi di pasar uang atau pasar modal. Islam melarang spekulasi uang, karena menurut Islam uang  bukan komoditas. Karena itu Islam melarang spekulasi valuta asing. Uang adalah alat pertukaran yang menggambarkan daya beli suatu barang atau harta. Sedangkan manfaat atau keuntungan yang ditimbulkannya berdasarkan atas aktivitas riil, seperti penjualan harta (bay’) atau pemakaian barang (ijarah).
  4. Risiko yang mungkin timbul harus dikelola sehingga tidak menimbulkan risiko yang besar atau melebihi kemampuan menanggung risiko (maysir).Untuk itu diperlukan ilmu manajemen resiko. Ini adalah aplikasi konsep fath zariah dalam ilmu ushul fiqh. Dalam Islam setiap transaksi yang mengharapkan hasil harus bersedia menanggung risiko sesuai kaedah Al-Kharaj bidh Dhaman dan Al-Ghurm bil ghurmi.
  5. Manajemen yang diterapkan manajemen Islami yang tidak mengandung unsur spekulatif dan menghormati hak asasi manusia serta menjaga lestarinya lingkungan hidup.

(Penulis adalah Sekjen IAEI dan Dosen Pascasarjana UI)