Senin, 17 Oktober 2011

Ilmu Ekonomi Syari`ah


EKONOMI SYARI`AH

Bismillahirrahmanirrahim
Bahwa ekonomi syariah merupakan bagian integral dari ajaran Islam yang universal dan komprehensif. Al-Qur’an secara tegas mendeklarasikan kekomprehensifan  Islam tersebut. Sebagaimana  pada surat Al An’am ayat 38, “Sedikitpun  tidak kami lupakan di dalam kitab suci Al-Qur’an (QS. 6:38); surat Al-Maidah ayat 3 “Pada  hari ini Kusempurnakan bagi kamu agamamu dan Kusempurnakan bagi kamu nikmatKu dan Aku ridho  Islam itu sebagai agama kamu”. Dalam ayat lainnya Allah berfirman, “Kami menurunkan Al-Qur’an untuk menjelaskan  segala sesuatu” (QS.16:89). Ajaran Islam mengenai muamalah  bersifat universal dan inklusif, sesuai dengan surah Al-Anbiyak 107. "Kami tidak mengutusmu kecuali untuk sekalian alam. Ajaran Islam dalam bermuamalat tidak membeda-bedakan muslim dan non-muslim. Kenyataan ini tersirat dalam suatu ungkapan yang diucapkan oleh Khalifah Ali :“ Dalam bidang muamalat kewajiban mereka adalah kewajiban kita dan hak mereka adalah hak kita”.
Salah satu unsur  yang menjadi dasar perbedaan antara sistem ekonomi syariah dengan sistem ekonomi lainnya adalah pada falsafahnya, yang terdiri dari nilai-nilai dan tujuan.  Dalam ekonomi Islam, nilai-nilai ekonomi bersumber Alquran dan hadits berupa prinsip-prinsip universal. Di saat sistem ekonomi lain hanya terfokus pada hukum dan sebab akibat dari suatu kegiatan ekonomi, Islam lebih jauh membahas nilai-nilai  dan etika yang terkandung dalam setiap kegiatan ekonomi tersebut. Nilai-nilai inilah yang selalu mendasari setiap kegiatan ekonomi Islam. Nilai fundamental yang menjadi fondasi  utama konstruksi ekonomi syariah adalah tawhid. Fondasi berikutnya, adalah syariah dan akhlak. Pengamalan syariah dan akhlak merupakan refleksi dari tauhid. Landasan tawhid yang tidak kokoh akan mengakibatkan implementasi syariah tidak terganggu.
Fondasi syariah membimbing aktivitas ekonomi, sehingga sesuai dengan kaidah-kaidah syariah (syari'ah compliance). Sedangkan akhlak membimbing aktivitas  ekonomi manusia agar senantiasa mengedepankan moralitas dan etika untuk mencapai tujuan. Akhlak yang terpancar dari tawhid  akan membentuk integritas yang membentuk good corporate governance dan market diciplin yang baik. Di atas fondasi tersebut terdapat sepuluh pilar yang menjadi prinsip untuk mencapai tujuan (falah), Kesepuluh pilar tersebut adalah maslahah, keadilan, khilafah tanggung jawab, kebebasan, ownership (kepemilikan), produktifitas, persaudaraan (ukhuwah), nubuwwah, dan jaminan sosial.
Penerapan ekonomi syariah di Indonesia dimaksudkan untuk memberikan kemaslahatan terbesar bagi masyarakat, bangsa dan negara serta berkontribusi secara nyata dan optimal bagi perekonomian nasional untuk mewujudkan stabilitas ekonomi, pemerataan, pertumbuhan dan kemandirian ekonomi bangsa. Dengan demikian upaya pengembangan ekonomi syariah di tanah air merupakan bagian integral dari pembangunan nasional yang diorientasikan  untuk  kepentingan bangsa.

Sistem ekonomi syariah  yang hendak diterapkan  adalah sebuah sistem  yang bersifat universal, inklusif, dan modern. Universalisme dan Inklusivisme ekonomi syariah meniscayakan eksistensi ekonomi syariah terbuka bagi seluruh masyarakat Indonesia tanpa terkecuali. Modern berarti system ekonomi syariah  dirumuskan secara rasional dan canggih untuk mengatasi  permasalahan ekonomi yang sedang dihadapi oleh bangsa Indonesia. Dengan cara demikian, maka upaya pengembangan sistem ekonomi syariah akan senantiasa dilihat dan diterima oleh segenap masyarakat Indonesia sebagai bagian dari solusi atas berbagai permasalahan yang dihadapi bangsa dan Negara Indonesia.

Untuk mewujudkan penerapan ekonomi syariah di Indonesia, diperlukan roadmap ekonomi syariah. Masyarakat Ekonomi Syariah telah merumuskan roadmap ekonomi syariah untuk jangka waktu 2010-2020. Roadmap ekonomi syariah  ini memuat visi, misi, sasaran pengembangan ekonomi syariah serta sejumlah inisiatif strategis dengan prioritas yang jelas dan terukut untuk  mencapai sasaran dalam kurun waktu 10 tahun ke depan, dengan  pencapaian sasaran pada lima pilar utama, yaitu Sumber Daya Insani, Regulasi, Institusi, Supervisi dan Teknologi.
Dalam jangka pendek, ekonomi syariah di Indonesia lebih diarahkan pada pembangunan landasan ekonomi syariah yang meliputi lima pilar di atas. Dalam jangka menengah, ekonomi syariah diarahkan pada upaya memperkokoh sistem   ekonomi syariah, yang ditandai pada sejumlah indikator capaian, baik di pilar SDI, Regulasi, Institusi, Supervisi dan  Teknologi. Pada akhirnya di tahun 2020, sistem ekonomi  syariah yang ingin diwujudkan oleh Masyarakat Ekonomi Syariah adalah transformasi lembaga usaha yang sesuai dengan prinsip syariah.
Tantangan ekonomi syariah
Dalam mengembangkan dan menerapkan ekonomi syariah di Indonesia, masih banyak kendala dan tantangan yang dihadapi. Tantangan utama dan mendasar ialah  kondisi obyektif masyarakat di mana tingkat kesadaran (fairness) tentang pengamalan ekonomi syariah masih rendah. Kesadaran masyarakat Indonesia, khususnya kaum muslimin masih belum sesuai dengan apa yang diharapkan, baik kesadaran pemimpin, tokoh agama, dan masyarakat.  Hal ini terbukti dari  market share seluruh lembaga keuangan syariah secara kuantitatif yang masih kecil, yaitu rata-rata  belum mencapai 5 persen.
Tantangan berikutnya adalah kondisi obyektif sumber daya insani ekonomi syariah. Pertumbuhan dan ekspansi bank-bank syariah dan lembaga keuangan syariah  yang demikian massif, membutuhkan ketersediaan SDI yang berkompeten dan professional. Namun  kebutuhan SDI yang demikian banyak, belum diimbangi dengan supply SDI yang memadai, baik dari lembaga pendidikan formal berupa Perguruan Tinggi maupun lembaga pendidikan dan pelatihan. Masalah lain terkait dengan SDI adalah masih minimnya SDI syariah yang utuh (integral). Ekonomi syariah masih kekurangan SDI yang benar-benar mendalami  dua bidang ilmu sekaligus  secara komprehensif, yaitu ilmu-ilmu syariah dan ilmu ekonomi keuangan. Kebanyakan  SDI  Lembaga Keuangan Syariah  saat ini adalah mereka yang fasih berbicara tentang ilmu ekonomi keuangan kontemporer, tetapi kurang  dalam ilmu-ilmu syariah. Sebaliknya banyak pakar yang mahir dalam ilmu fikih dan syariah    tetapi minim tentang Ilmu ekonomi keuangan modern. Karena kekurangan itu, maka saat lebih dari 70 persen SDI syariah berasal dari lembaga konvensional. Dampak lain kekurangan SDI syariah terjadinya praktek bajak membajak sesama lembaga leuangan keuanjgan syariah. Semua masalah sumber daya insani ini, harus diatasi secara terencana, terukur dan berkelanjutan.
Tantangan selanjutnya adalah masalah regulasi ekonomi syariah. Berbagai studi tentang hubungan hukum dan regulasi dengan  pembangunan ekonomi menunjukkan bahwa pembangunan ekonomi tidak akan berhasil tanpa pembangunan aspek regulasi.  Memperkuat institusi-institusi hukum adalah “precondition for economic change”, “crucial to the viability of new political system”, and “ an agent of social change”.
  • Berdasarkan teori itu, maka menjadi keniscayaan, bahwa pengembangan dan penerapan ekonomi syariah di Indonesia, harus dilandasi dan dipayungi regulasi yang kondusif. Saat ini, baru terdapat tiga  perundang-undangan tentang ekonomi syariah, yaitu, UU No 41/2004 tentang waqaf, UU No 19/2008 tentang SBSN dan UU NO 21/2008 tentang perbankan syariah, Sedangkan Undang-Undang Nomor 39/1999 tentang Pengelolaan zakat yang masih proses amandemen., masih jauh dari harapan ideal, karena itu Undang-Undang ini perlu diamandemen.
  • Saat ini masih banyak lembaga keuangan syariah yang belum memiliki payung hukum spesifik , seperti asuransi syariah, lembaga keuangan mikro syariah BMT, serta lembaga keuangan syariah lainnya. Masalah regulasi lainnya ialah terkait dengan regulasi pajak di Indonesia,  terkait dengan status pajak ganda sukuk corporate masih mengancam. Termasuk dalam aspek regulasi ekonomi syariah adalah tersedianya fatwa-fatwa ekonomi syariah yang memadai. Saat ini kondisi obyektif fatwa-fatwa ekonomi syariah di Indonesia, masih tertinggal dari fatwa ekonomi syariah di tingkat global, karena itu  fatwa-fatwa ekonomi  syariah  perlu dikembangkan secara inovatif  dengan tetap berdasar pada syariah compliance dalam rangka mendukung industri perbankan dan keuangan syariah,
  • Dalam bidang   kelembagaan, tantangan ekonomi syariah meliputi banyak bidang dan aspek, seperti belum adanya organisasi payung (APEX) untuk lembaga keuangan mikro syariah. Belum  berdirinya Otoritas Jasa Keuangan Syariah. Peranan Biro LKS Non-bank di BAPEPAM & LK perlu diperkuat agar institutusi ini dapat  menyediakan layanan atas segala kebutuhan LKS Non-bank.  Demikian pula peranan Direktorat Perbankan Syariah Bank Indonesia (DPbS BI) perlu di tingkatkan di masa depan  agar dapat menyediakan layanan atas segala kebutuhan perbankan syariah. Selain itu, di kantor wilayah Bank Indonesia saat ini belum tersedia unit kerja yang khusus membidangi syariah, sehingga pelayanan perbankan syariah kurang kondusif.
Masalah ekonomisyariah lainnya yang sangat krusial adalah persoalan supervisi se ekonomi syariah. Tantangannya adalah bagaimana market share ekonomi syariah sepuluh tahun ke depan minimal mencapai 20 persen. Untuk mencapai itu diperlukan gerakan grand strategi, edukasi, sosialisasi dan gerakan unorganik yang secara signigfikan, mendorong peningkatan market share ekonomi syariah. Dana-dana umat Islam, dana ayayasan dan lembaga ekonomi umat, dana haji, zakat dan waqaf,  masih banyak ditempatkan di bank konvensional. Di masa depan, keseluruhan dana potensial tersebut diendorse agar dikelola secara bertahap di  lembaga-lemaga  keuangan perbankan dan keuangan syariah.
Salah satu pilar penting untuk mengembangkan ekonomi syariah  adalah  perangkat  teknologi canggih yang tersedia untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat. Sebagian bank syariah sudah dapat menyediakan layanan berbasis teknologi, namun sebagian besar lembaga keuangan syariah masih tertinggal di bidang teknologi.   Padahal infrastruktur teknologi merupakan pilar utama  dalam kegiatan bisnis keuangan. Lembaga keuangan mikro baik BPRS syariah maupun BMT, seharusnya juga menerapkan perangkat teknologi modern dalam melayani nasabahnya sebagaimana halnya  bank-bank konvensional.

Transaksi Derivatif Dalam Perspektif Syariah


 Krisis keuangan global yang terjadi di Amerika Serikat telah menimbulkan keterpurukan ekonomi yang sangat dalam bagi perekonomian AS. Krisis keuangan yang berawal dari krisis subprime mortgage itu merontokkan sejumlah lembaga keuangan AS. Raksasa keuangan sebesar Lehman Brothers pun bisa tumbang. Nyatanya dia tidak sendirian, pelaku bisnis raksasa lainnya juga mengalami nasib tragis yang sama, seperti Washington Mutual Bank. Perusahaan asuransi terbesar di dunia American International Group (AIG) dan perusahaan sekuritas raksasa Merrill Lynch, Morgan Stanley dan Goldman Sachs mengalami sempoyongan yang luar biasa. Pemerintah AS terpaksa mengambil alih perusahaan-perusahaan tersebut. Para investor mulai kehilangan kepercayaan, sehingga harga-harga saham di bursa-bursa utama dunia pun rontok, termasuk Indonesia.
Menyusul tumbangnya banyak perusahaan finansial, pencaplokan perusahaan pesaing makin marak. Pengambil alihan secara paksa (hostile takeover) menjadi sesuatu yang wajar dalam dinamika pasar. Bagi perusahaan finansial yang memiliki produk derivatif luas di pasar, keberadaan perusahaan bisa dipermainkan para spekulan. Saat perusahaan mulai goyah pencaplokan oleh perusahaan lain tidak terhindarkan. Pasar menjadi ganas dan liar, tidak terkendali.
Para analis menilai, bencana pasar keuangan akibat rontoknya perusahaan keuangan dan bank-bank besar di Negeri Paman Sam satu per satu, tinggal menunggu waktu saja. Inikah tanda-tanda keruntuhan sebuah imperium, negara adi daya bernama Amerika Serikat?
Sebagai negara adi daya dengan gross domestic bruto (GDP) terbesar di dunia, Amerka Serikat seharusnya mempunyai tanggung jawab yang lebih besar dalam menjaga kestabilan dan kesehatan sistem dan pasar keuangan di negaranya, karena akan berdampak besar bagi negara-negara lain. Tetapi justru Amerika Serikat yang tersungkur jatuh ke jurang krisis keuangan yang sangat dalam. Dalam sistem ekonomi konvensional kapitalisme yang anutnya, dihalalkan kegiatan bisnis derivatif dan spekulatif di pasar uang dan pasar modal. Praktek bunga, maysir dan gharar menjadi kebiasaan.
Ada banyak analisis terkait dengan kehancuran pasar finansial, mulai dari kebijakan defisit AS, kebijakan suku bunga rendah di era Greenspan, keserakahan elit politik, kegiatan spekulatif para petinggi perusahaan, seperti dilakukan Dick Fuld, CEO Lehman Brothers, tingginya biaya program politik luar negeri, manipulasi laporan keuangan dan lain-lain. Hampir semua analisis itu tidak menukik kepada akar masalah yang paling dalam, sehingga apapun obat dan strategi pemulihan yang diberikan pasti tidak mujarab. Penyakit krisis pasti kembali kambuh dan terus berulang. Paparan dalam tulisan ini akan menjelaskan akar masalah yang sesungguhnya dari krisis keuangan yang selalu terjadi sepanjang sejarah, termasuk krisis keuangan saat ini yang bermula dari Amerika Serikat.
Menurut perspektif ekonomi syariah, penyebab utama krisis yang terjadi saat ini adalah (satanic trinity), yaitu trinitas setan yang terdiri daririba, maysir dan gharar. Sistem dan pasar keuangan dan capital market di Amerika telah didominir oleh setan tiga serangkai atau trinitas setan (satanic trinity) yang terdiri dari (1) bunga (riba) dalam transaksi keuangan; Praktek riba terlihat jelas pada bisnis derivatif yang sangat laris di pasar uang dan pasar modal AS. (2) Produk derivatif yang tak jelas underline transactionnya itu disebut juga dengangharar, karena ketidak jelasan produk riilnyaProduk gharar ini disamarkan dengan istilah produk hybrids dan derivatives yang dibungkus dan dikemas dengan mekanisme securitisation insurance atau guarantee; (3) Peri laku dan praktek spekulatif atau untung-untungan(maisir) yang juga tanpa dilandasi transaksi riil. .
Sebenarnya, krisis keuangan global dapat dibedakan kepada dua macam krisis, Pertama krisis di pasar modal (capital market) dan kedua krisis di pasar uang (money market). Kedua bentuk financial market itu membuka peluang kepada transaksi dengan tingkat spekulasi yang tinggi. Keduanya menggunakan bunga sebagai instrumen. Keduanya juga memisahkan sektor moneter dan sektor riel sebagaimana diajarkan sistem ekonomi kapitalisme.
Di capital market konvensional, sangat dimungkinkan terjadinya short selling dan margin trading . Kegiatan bisnis tersebut sangat sarat dengan motif spekulasi. Sementara di pasar uang terdapat dua kesalahan besar yang berakibat kepada krisis, pertama, kegiatan transaksi valas yang bermotif spekulasi, baik spot maupun bukan, seperti forward, options dan swaps transaction. Kedua bahwa yang menjadi standar keuangan international adalah fiat money.
Islam yang berdasarkan wahyu yang diturunkan Allah dari langit tentu memiliki ajaran yang unggul, rasional dan ilmiah dan empiris. Menurut ekonomi Islam, sektor moneter dan sektor riil tidak boleh terpisah, sedangkan dalam sistem ekonomi kapitalisme keduanya terpisah secara diametral. Akibat keterpisahan itu, maka arus uang (moneter) berkembang dengan cepat sekali, sementara arus barang di sektor riil semakin jauh tertinggal. Sektor moneter dan sektor riil menjadi sangat tidak seimbang.
Pakar manajamen tingkat dunia, Peter Drucker, menyebut gejala ketidakseimbangan antara arus moneter dan arus barang/jasa sebagai adanya decopling, yakni fenomena keterputusan antara maraknya arus uang (moneter) dengan arus barang dan jasa.
Fenomena ketidakseimbangan itu dipicu oleh maraknya bisnis spekulasi pada kedua pasar keuangan di atas, yaitu di pasar modal dan pasar valas (money market) sehingga ekonomi dunia terjangkit penyakit yang bernama balon economy (bubble economy). Disebut ekonomi balon, karena secara lahir tampak besar, tetapi ternyata tidak berisi apa-apa kecuali udara. Ketika ditusuk, ternyata ia kosong. Jadi, bublle economy adalah sebuah ekonomi yang besar dalam perhitungan kuantitas moneternya, namun tak diimbangi oleh sektor riel, bahkan sektor riel tersebut amat jauh ketinggalan perkembangannya.
Sekedar ilustrasi dari fenomena decoupling tersebut, misalnya sebelum krisis moneter Asia, dalam satu hari, dana yang gentayangan dalam transaksi maya di pasar modal dan pasar uang dunia, diperkirakan rata-rata beredar sekitar 2-3 triliun dolar AS atau dalam satu tahun sekitar 700 triliun dolar AS.
Padahal arus perdagangan barang secara international dalam satu tahunnya hanya berkisar 7 triliun dolar AS. Jadi, arus uang 100 kali lebih cepat dibandingkan dengan arus barang (Republika, 18-8-2000).
Dalam tulisan Agustianto di sebuah seminar Nasional tahun 2007 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, disebutkan bahwa volume transaksi yang terjadi di pasar uang (currency speculation and derivative market) dunia berjumlah US$ 1,5 trillion hanya dalam sehari, sedangkan volume transaksi pada perdagangan dunia di sektor riil hanya US$ 6 trillion setiap tahunnya (Rasio 500 : 6 ), Jadi sekitar 1-an %. Celakanya lagi, hanya 45 persen dari transaksi di pasar, yang spot, selebihnya adalah forward, futures,dan options. Sementara itu menurut Kompas September 2007, uang yang beredar dalam ransaksi valas sudah mencapai 1,3 triliun dalam setahun. Data ini menunjukkan bahwa perkembangan cepat sektor keuangan semakin melejit meningalkan sektor riel. Dengan demikian balonnya semakin besar dan semakin rawan mengalami letupan. Ketika balon itu meletus, maka terjadilah krisis seperti yang sering kita saksikan di muka bumi ini.
Gejala decoupling, sebagaimana digambarkan di atas, disebabkan, karena fungsi uang bukan lagi sekedar menjadi alat tukar dan penyimpanan kekayaan, tetapi telah menjadi komoditas yang diperjualbelikan dan sangat menguntungkan bagi mereka yang memperolehgain. Meskipun bisa berlaku mengalami kerugian milyaran dollar AS.
Berdasarkan realitas itulah, maka Konferensi Tahunan Association of Muslim Scientist di Chicago, Oktober 1998 yang membahas masalah krisis ekonomi Asia dalam perspektif ekonomi Islam, menyepakati bahwa akar persoalan krisis adalah perkembangan sektor finansial yang berjalan sendiri, tanpa terkait dengan sektor riil.

Hybrid Contract dalam Keuangan Syariah

Perkembangan perbankan dan keuangan syariah syariah mengalami kemajuan yang sangat pesat dan menghadapi tantangan yang makin kompleks. Perbankan dan lembaga keuangan syariah harus bisa memenuhi kebutuhan bisnis modern dengan menyajikan produk-produk inovatif dan lebih variatif serta pelayanan yang memuaskan. Tantangan ini menuntut para praktisi, regulator, konsultan, dewan syariah dan akademisi bidang keuangan syariah untuk senantiasa aktif dan kreatif dalam memberikan respon terhadap perkembangan tersebut. Para praktisi dituntut secara kreatif melakukan inovasi produk; regulator membuat regulasi yang mengatur dan mengawasi produk yang laksanakan oleh praktisi, Dewan syariah dituntut secara aktif dan kreatif mengeluarkan fatwa-fatwa yang dibutuhkan industri sesuai tuntutan zaman, dan akademisi pun dituntut memberikan pencerahan ilmiah dan tuntunan agar produk maupun regulasi mendukung kebutuhan industry modern dan benar-benar tidak menyimpang dari prinsip-prinsip syariah.
Salah satu pilar penting untuk menciptakan produk perbankan dan keuangan syariah dalam menyahuti tuntutan kebutuhan masyarakat modern, adalah pengembangan hibryd conctract (multi akad). Bentuk akad tunggal sudah tidak mampu meresponi transaksi keuangan kontemporer. Metode hybrid contracy seharusnya menjadi unggulan dalam pengembangan produk. Dr Mabid Al-Jarhi, mantan direktur IRTI IDB pernah mengatakan, kombinasi akad di zaman sekarang adalah sebuah keniscayaan. Cuma masalahnya, literatur ekonomi syariah yang ada di Indonesia sudah lama mengembangkan teori bahwa syariah tidak membolehkan dua akad dalam satu transaksi akad (two in one). Larangan ini ditafsirkan secara dangkal dan salah, sehingga menyempitkan pengembangan produk bank syariah. Padahal syariah membolehkannya dalam ruang lingkup yang sangat luas.
Harus difahami, bahwa larangan two in one hanya terbatas dalam dua kasus saja sesuai dengan sabda-sabda Nabi Muhammad SAW yang terkait dengan itu. Two in one tidak boleh diperluas kepada masalah lain yang tidak relevan dan tidak pas konteksnya. Para dosen, ahli ekonomi syariah, bankir syariah dan konsultan harus mempelajari secara mendalam pandangan ulama tentang akad two in one dan al-ukud al-murakkabah, agar pemahaman terhadap design kontrak syariah, bisa lebih komprehensif, dinamis dan tidak kaku. Kekakuan itu bisa terjadi karena kedangkalan metodologis syariah dan kelangkaan litaratur yang sampai kepada kita.
Memang ada tiga buah hadits Nabi Saw yang menunjukkan larangan penggunaan hybrid contract. Ketiga hadits itu berisi tiga larangan, pertama larangan bay’ dan salaf, larangan bai’ataini fi bai’atin, dan larangan shafqataini fi shafqatin. Ketiga hadits itulah yang selalu dijadikan rujukan para konsultan dan banker syariah tentang larangan two in one. Namun harus dicatat, larangan itu hanya berlaku kepada dua kasus, karena maksud hadits kedua dan ketiga sama, walaupun redaksinya berbeda. Telaah dan analisis atas ketiga hadits ini akan diuraikan pada paparan selanjutnya.
Pandangan Ulama
Aliudin Za’tary dalam buku Fiqh Muamalah Al-Maliyah al-Muqaran mengatakan “ Tidak ada larangan dalam syariah tentang penggabungan dua akad dalam satu transaksi, baik akad pertukaran (bisnis) maupun akad tabarru’. Hal ini berdasarkan keumuman dalil-dalil yang memerintahkan untuk memenuhi (wafa) syarat-syarat dan akad-akad”
Mayoritas ulama Hanafiyah, sebagian pendapat ulama Malikiyah, ulama Syafi’iyah, dan Hanbali berpendapat bahwa hukum hybrid contractadalah sah dan diperbolehkan menurut syariat Islam. Ulama yang membolehkan beralasan bahwa hukum asal dari akad adalah boleh dan sah, tidak diharamkan dan dibatalkan selama tidak ada dalil hukum yang mengharamkan atau membatalkannya. (Al-‘Imrâni, Al-’uqûd al-Mâliyah al-Murakkabah, hal. 69). Kecuali menggabungkan dua akad yang menimbulkan riba atau menyerupai riba, seperti menggabungkan qardh dengan akad yang lain, karena adanya larangan hadits menggabungkan jual beli dan qardh. Demikian pula menggabungkan jual beli cicilan dan jual beli cash dalam satu transaksi
Menurut Ibn Taimiyah, hukum asal dari segala muamalat di dunia adalah boleh kecuali yang diharamkan Allah dan Rasulnya, tiada yang haram kecuali yang diharamkan Allah, dan tidak ada agama kecuali yang disyariatkan.( Ibn Taimiyah, Jâmi’ al-Rasâil, j. 2, hal. 317)
Nazih Hammad dalam buku al-’Uqûd al-Murakkabah fi al-Fiqh al-Islâmy menuliskan, ”Hukum dasar dalam syara’ adalah bolehnya melakukan transaksi hybrid contract , selama setiap akad yang membangunnya ketika dilakukan sendiri-sendiri hukumnya boleh dan tidak ada dalil yang melarangnya. Ketika ada dalil yang melarang, maka dalil itu tidak diberlakukan secara umum, tetapi mengecualikan pada kasus yang diharamkan menurut dalil itu. Karena itu, kasus itu dikatakan sebagai pengecualian atas kaidah umum yang berlaku yaitu mengenai kebebasan melakukan akad dan menjalankan perjanjian yang telah disepakati. (Nazîh Hammâd, al-’uqûd al-Murakkabah fi al-Fiqh al-Islâmy, hal. 8)
Demikian pula dengan Ibn al-Qayyim, ia berpendapat bahwa hukum asal dari akad dan syarat adalah sah, kecuali yang dibatalkan atau dilarang oleh agama.(Ibn al-Qayyim, I’lâm al-Muwaqqi’în, j. 1, hal. 344)
Al-Syâtiby menjelaskan perbedaan antara hukum asal dari ibadat dan muamalat. Menurutnya, hukum asal dari ibadat adalah melaksanakan (ta’abbud) apa yang diperintahkan dan tidak melakukan penafsiran hukum. Sedangkan hukum asal dari muamalat adalah mendasarkan substansinya bukan terletak pada praktiknya (iltifât ila ma’âny). Dalam hal ibadah tidak bisa dilakukan penemuan atau perubahan atas apa yang telah ditentukan, sementara dalam bidang muamalat terbuka lebar kesempatan untuk melakukan perubahan dan penemuan yang baru, karena prinsip dasarnya adalah diperbolehkan (al-idzn) bukan melaksanakan (ta’abbud).[1] ( Al-Syâtiby, al-Muwâfaqât, j. 1, hal. 284)
Pendapat ini didasarkan pada beberapa nash yang menunjukkan kebolehan multi akad dan akad secara umum. Pertama firman Allah dalam surat al-Mâidah ayat 1 yang artinya: “Wahai orang-orang yang beriman penuhilah olehmu akad-akad”. (QS. Al-Mâidah : 1)
Istilah Hibrid Contract dan Pengertiannya .
Buku-buku teks fikih muamalah kontemporer, menyebut istilah hybrid contract dengan istilah yang beragam, seperti al-’uqûd al-murakkabah, al-’uqûd al-muta’addidah al-’uqûd al-mutaqâbilah, al-’uqûd al-mujtami’ah, dan al-’Ukud al-Mukhtalitah, Namun istilah yang paling populer ada dua macam , yaitu al-ukud al-murakkabah dan al-ukud al mujtami’ah.
Al-“Imrani dalam buku Al-Ukud al-Maliyah al-Murakkabah mendefinisikan hybrid contract yaitu "Kesepakatan dua pihak untuk melaksanakan suatu akad yang mengandung dua akad atau lebih --seperti jual beli dengan sewa menyewa, hibah, wakalah, qardh, muzara'ah, sahraf (penukaran mata uang), syirkah, mudharabah … dst.-- sehingga semua akibat hukum akad-akad yang terhimpun tersebut, serta semua hak dan kewajiban yang ditimbulkannya dipandang sebagai satu kesatuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan, sebagaimana akibat hukum dari satu akad."
Macam-macam hybrid contract
Pertama, Multi Akad yang mukhtalithah (bercampur) yang memunculkan nama baru, seperti bay’ istighlal , bay’ tawarruq, musyarakah mutanaqishah dan bay wafa’.
• Jual beli istighlal merupakan percampuran 3 akad, yaitu 2 akad jual beli dan ijarah, sehingga bercampur 3 akad. Akad ini disebut juga three in one
• Jual Beli Tawarruq percampuran 2 akad jual beli. Jual Beli 1 dengan pihak pertama, Jual Beli kedua dengan pihak ketiga.
• Musyarakah Mutanaqishah (MMQ). Akad ini campuran akad syirkah milik dengan Ijarah yang mutanaqishah atau jual beli yang disifati dengan mutanaqishah (decreasing). Percampuran akad-akad ini melahirkan nama baru, yaitu musyarakah mutanaqishah (MMQ). Substansinya hampir sama dengan IMBT, karena pada akhir periode barang menjadi milik nasabah, namun bentuk ijarahnya berbeda, karena transfer of title ini bukan dengan janji hibah atau beli, tetapi karena transfer of tittle yang mutanaqishah, karena itu sebutannya ijarah saja, bukan IMBT.
• Bay’ wafa’ adalah percampuran (gabungan) 2 akad jual beli yang melahirkan nama baru. Pada awal kelahirannya di abad 5 Hijriyah, akad ini merupakan multiakad (hybrid), tetapi dalam proses sejarah menjadi 1 akad, dengan nama baru yaitu bay wafa’.
Kedua Hybrid Contract yang mujtami’ah/mukhtalitah dengan nama akad baru, tetapi menyebut nama akad yang lama, seperti sewa beli (bay’ at-takjiry) Lease and purchase. Contoh lain ialah mudharabah musytarakah pada life insurance dan deposito bank syariah.
Contoh lainnya yang cukup menarik ialah menggabungkan wadiah dan mudharabah pada GIRO, yang biaa disebut Tabungan dan Giro Aotomatic Transfer Mudharabah dan Wadiah. Nasabah mempunyai 2 rekening, yakni tabungan dan giro sekaligus.(2 rekening dlm 1 produk).Setiap rekening dapat pindah secara otomatis jika salah rek membutuhkan.
Ketiga Hybrid contract, yang akad-akadnya tidak bercampur dan tidak melahirkan nama akad baru. tetapi nama akad dasarnya tetap ada dan eksis dan dipraktekkan dalam suatu transaksi. Contohnya :
  1. Kontrak akad pembiayaan take over pada alternatif 1 dan 4 pada fatwa DSN MUI No 31/2000
  2. Kafalah wal ijarah pada kartu kredit,
  3. Wa’ad untuk wakalah murabahah, ijarah, musyarakah, dll pada pembiayaan rekening koran or line facility
  4. Murabahah wal wakalah pd pembiayaan murabahah basithah.
  5. Wakalah bil ujrah pada L/C, RTGS, General Insurance, Factoring,
  6. Kafalah wal Ijarah pada LC, Bank Garansi, pembiayaan multi jasa / multi guna, kartu kredit.
  7. .Mudharabah wal murabahah/ijarah/istisna pada pembiayaan terhadap karyawan koperasi instansi.
  8. Hiwalah bil Ujrah pada factoring
  9. Rahn wal ijarah pada REPO SBI dan SBSN
  10. Qardh, Rahn dan Ijarah pada produk gadai emas di bank syariah
Keempat, Hybrid Contract yang mutanaqidhah (akad-akadnya berlawanan). Bentuk ini dilarang dalam syariah. Contohnya menggabungkan akad jual beli dan pinjaman (bay’ wa salaf). Contoh lain, menggabungkan qardh wal ijarah dalam satu akad. Kedua contoh tersebut dilarang oleh nash (dalil) syariah, yaitu hadits Rasulullah Saw. Contoh lainnya : menggabungkan qardh dengan janji hadiah
Contoh-contoh penerapan hybrid contract di atas, masih perlu penjelasan luas dan memadai, namun karena ruangan kolom yang terbatas, kajiannya besifat ringkas. Selain itu pembahasan tentang konsep hybrid contract ini dan penerapannya dalam transaksi perbankan dan keuangan masih membutuhkan kajian yang panjang. Namun demikian, para pembaca yag ingin mendalami hyibrid contract dalam teori dan aplikasinya secara mendalam dapat mengikuti Training dan Workshop Fikih Muamalah perbankan dan keuangan level advance yang digelar setiap bulan di kantor MES Pusat Jakarta.